Abstrak
Artikel ini mengkaji fenomena “Geopolitik Data” dengan menganalisis pergeseran data dari komoditas ekonomi menjadi aset strategis geopolitik. Berawal dari analogi populer “data adalah minyak baru,” artikel ini menelusuri asal-usul, validitas, dan kritik terhadap metafora tersebut. Analisis menunjukkan bahwa meskipun analogi ini persuasif, ia gagal menangkap karakteristik fundamental data yang non-rival dan non-habis. Artikel ini mengidentifikasi aktor-aktor utama—negara (Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa), perusahaan teknologi, dan organisasi supranasional—serta arena persaingan mereka, termasuk perlombaan kecerdasan buatan (AI) dan kedaulatan digital. Melalui studi kasus Indonesia, artikel ini mengeksplorasi tantangan dan strategi yang dihadapi negara berkembang. Kesimpulannya, Geopolitik Data menandai era baru di mana kekuasaan dan pengaruh global tidak lagi hanya ditentukan oleh sumber daya fisik, melainkan oleh kemampuan untuk mengumpulkan, mengolah, dan mengendalikan aliran data, yang berpotensi memicu fragmentasi digital global.
Pendahuluan
Konsep geopolitik secara tradisional merupakan studi tentang interaksi antara faktor geografis, politik, ekonomi, dan militer yang memengaruhi kebijakan serta pembagian kekuasaan di tingkat global. Pemikiran klasik geopolitik, yang diinisiasi oleh Fredrich Ratzel pada abad ke-19, berfokus pada konsep ruang dan kontrol teritorial, yang kemudian berkembang menjadi teori-teori wawasan benua, bahari, dan dirgantara. Namun, seiring dengan percepatan revolusi digital, kerangka analisis tradisional ini tidak lagi memadai untuk menjelaskan dinamika kekuasaan kontemporer. Fenomena Geopolitik Data muncul sebagai wacana baru yang mengkaji bagaimana data, sebagai sumber daya yang tak berwujud, telah menjelma menjadi aset strategis yang membentuk ulang hubungan internasional, kebijakan luar negeri, dan konstelasi politik suatu wilayah.
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental: mengapa data telah menjadi pusat persaingan geopolitik global dan bagaimana kita dapat menganalisis fenomena ini melampaui analogi yang populer. Dengan menelusuri genealogi, mengkritisi, dan mengaplikasikan konsep Geopolitik Data pada studi kasus nyata, artikel ini menyajikan analisis komprehensif dari pergeseran paradigma kekuasaan di abad ke-21. Struktur artikel ini akan dimulai dengan membahas asal-usul dan kekuatan analogi “data adalah minyak baru,” diikuti dengan kritik mendalam terhadap metafora tersebut. Selanjutnya, artikel akan menganalisis aktor dan arena persaingan geopolitik data, termasuk studi kasus utama, sebelum berfokus pada posisi dan strategi Indonesia. Bagian akhir akan memproyeksikan tren masa depan dan tantangan yang menyertai perlombaan AI dan kedaulatan digital.
Bagian I: Genealogi dan Analisis Analogi “Data adalah Minyak Baru”
1.1. Asal-Usul dan Relevansi Frasa
Frasa “data adalah minyak baru” pertama kali populer pada awal tahun 2000-an, tetapi mendapatkan momentum signifikan setelah sebuah artikel di majalah The Economist pada tahun 2017 yang berjudul “The world’s most valuable resource is no longer oil, but data”. Publikasi ini menandai pergeseran persepsi publik yang meluas, di mana data mulai dipandang tidak hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai sumber daya yang paling berharga bagi ekonomi digital. Analogi ini begitu kuat dan mudah diterima karena adanya kesamaan mendasar antara data dan minyak mentah. Keduanya adalah bahan baku atau “bahan mentah” yang tidak memiliki nilai langsung dalam bentuk aslinya. Sama seperti minyak mentah yang harus diekstraksi dari tanah, diangkut, dan dimurnikan di kilang untuk diubah menjadi bahan bakar yang berharga seperti bensin, data mentah harus dikumpulkan, dianalisis, dan diproses untuk menghasilkan wawasan (insight) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dan pemerintah.
Dinamika kekuasaan yang diciptakan oleh kedua sumber daya ini juga memiliki paralel yang mencolok. Di era Revolusi Industri, kekuasaan global dan stabilitas ekonomi digerakkan oleh “raksasa minyak” (seperti Big Oil), yang menguasai seluruh rantai pasokan dari eksplorasi hingga distribusi. Demikian pula, di era digital, nilai ekonomi dari data besar-besaran terkonsentrasi di tangan segelintir “raksasa digital” atau hyperscaler (seperti Google, Facebook, dan Amazon) yang mendominasi pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan data pengguna. Struktur pasar yang monopolistik ini memungkinkan mereka membangun model bisnis berbasis data, mengendalikan ekosistem digital, dan pada akhirnya, menciptakan konsentrasi kekuasaan yang serupa dengan yang pernah dimiliki oleh perusahaan minyak.
1.2. Nilai Ekonomi dan Aplikasi Strategis Data
Data telah bertransformasi menjadi aset strategis yang memiliki aplikasi di berbagai sektor. Di bidang ekonomi, data science memungkinkan organisasi untuk membuat keputusan yang lebih cerdas dan responsif, mengurangi risiko, dan menciptakan strategi bisnis yang lebih dinamis. Transformasi ini merambah ke seluruh sektor industri, dari layanan kesehatan hingga ritel. Contoh konkret dari nilai strategis ini dapat dilihat dalam berbagai aplikasi. Misalnya, data digunakan untuk memetakan perilaku konsumen, mempersonalisasi layanan, dan menyempurnakan strategi pemasaran. Lebih dari sekadar keuntungan komersial, data juga menjadi kunci untuk kemajuan sosial dan keamanan nasional. Data dari pencitraan satelit dan radar dapat membantu pemerintah memprediksi panen, mencegah kebakaran hutan, dan merencanakan evakuasi warga selama bencana alam, yang secara langsung meningkatkan ketahanan sipil.
Di bidang medis, data berperan dalam menyelamatkan nyawa. Sebuah penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa ketika hasil analisis ahli patologi manusia digabungkan dengan data pemindaian dari sistem machine learning, akurasi deteksi kanker payudara meningkat signifikan dari 96% menjadi 99,5%. Peningkatan ini berpotensi mengurangi 56.000 kasus kesalahan diagnosis setiap tahun di Amerika Serikat saja. Selain itu, bidang terapi gen juga berkembang pesat berkat penggunaan data dari pengurutan genetik ratusan ribu manusia. Kemampuan suatu negara untuk menguasai dan memanfaatkan data dalam skala besar untuk tujuan ini secara langsung meningkatkan kekuatan nasionalnya—bukan hanya kekuatan ekonomi, tetapi juga kekuatan ketahanan pangan, pertahanan sipil, dan keunggulan ilmiah. Hal ini menciptakan jurang pemisah baru antara negara-negara maju dan berkembang dalam hal kemampuan geopolitik.
Bagian II: Melewati Metafora: Kritik dan Keterbatasan Analogi
2.1. Argumentasi Kritis terhadap Analogi
Meskipun analogi “data adalah minyak baru” sangat kuat dan mudah dipahami, kritik yang mendalam menunjukkan bahwa metafora ini adalah penyederhanaan yang berbahaya karena gagal menangkap karakteristik fundamental data. Data memiliki sifat yang sangat berbeda dari komoditas fisik seperti minyak. Perbedaan utama terletak pada sifat
non-rival dan non-habis dari data. Saat minyak dikonsumsi—misalnya, dibakar untuk menghasilkan energi—minyak tersebut habis dan tidak dapat digunakan lagi. Sebaliknya, satu
dataset dapat digunakan oleh banyak pihak secara bersamaan untuk berbagai tujuan tanpa mengurangi nilai atau ketersediaannya. Data mentah, bahkan setelah diproses menjadi wawasan yang berharga, tetap tersedia untuk diproses ulang guna menghasilkan wawasan yang sama sekali baru. Ini berarti volume data yang ada terus tumbuh secara eksponensial, berbeda dengan minyak yang merupakan sumber daya terbatas.
Selain itu, kualitas data seringkali tidak homogen, mudah terdistorsi, dan memerlukan proses pemurnian yang sangat spesifik untuk tujuan tertentu, yang berbeda dari standar kualitas minyak yang lebih universal. Dari segi dampak, penggunaan minyak fosil secara historis telah menyebabkan polusi lingkungan dan krisis energi. Sebaliknya, data, ketika digunakan secara bertanggung jawab, memiliki potensi untuk “membalikkan masalah” lingkungan dan sosial. Secara historis, denda dan konsekuensi hukum untuk penyalahgunaan data juga jauh lebih rendah daripada kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak.
Kesenjangan fundamental ini memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Jika persaingan geopolitik atas minyak berpusat pada pengamanan pasokan fisik, persaingan atas data berpusat pada pengendalian akses dan penerapan standar. Karena data tidak habis, isu utamanya beralih dari ketersediaan menjadi privasi, keamanan, dan kedaulatan digital. Hal ini memicu tantangan regulasi yang kompleks dan berpotensi menyebabkan fragmentasi global di mana setiap negara atau blok ekonomi menerapkan aturan yang berbeda untuk transfer data lintas batas. Oleh karena itu, kerangka analisis yang lebih akurat diperlukan untuk memahami kompleksitas Geopolitik Data.
2.2. Mengusulkan Kerangka Konseptual Baru
Untuk memahami dinamika Geopolitik Data yang lebih akurat, diperlukan kerangka konseptual yang melampaui analogi komoditas. Kerangka ini harus berfokus pada konsep kedaulatan digital dan tata kelola siber, yang menjadi inti dari persaingan kontemporer. Tabel berikut menguraikan perbedaan mendasar antara kedua sumber daya tersebut.
| Kriteria Analisis | Minyak (Analogi Klasik) | Data (Aset Geopolitik Baru) |
|---|---|---|
| Ketersediaan | Terbatas (finite) dan akan habis. | Tak terbatas (infinite) dan terus tumbuh. |
| Sifat | Berwujud (tangible) dan rival. | Tak berwujud (intangible) dan non-rival. |
| Proses Nilai | Ekstraksi, pemurnian, distribusi fisik. Nilai terkonsentrasi di kilang. | Pengumpulan, analisis, dan penyediaan wawasan. Nilai terkonsentrasi di tangan raksasa digital. |
| Dinamika Kekuasaan | Penguasaan cadangan fisik dan rantai pasok. | Penguasaan infrastruktur data dan penetapan standar tata kelola. |
| Dampak Eksternal | Risiko tumpahan, polusi, dan penipisan cadangan. | Risiko penyalahgunaan, kebocoran privasi, dan penyebaran misinformasi. |
| Tujuan Geopolitik | Mengamankan pasokan fisik. | Mengendalikan aliran data dan memaksakan standar. |
Tabel di atas menunjukkan bahwa: Inti dari Geopolitik Data bukanlah perebutan sumber daya fisik, melainkan perebutan pengaruh dan kontrol atas infrastruktur dan regulasi yang memfasilitasi aliran data.
Bagian III: Aktor, Arena, dan Dinamika Persaingan
3.1. Persaingan Antar Negara: AS, Tiongkok, dan Uni Eropa
Persaingan geopolitik data yang paling signifikan terjadi di antara tiga blok kekuatan utama, masing-masing dengan strategi yang berbeda:
- Amerika Serikat (AS): Strategi AS berfokus pada upaya mempertahankan dominasi teknologi global. Keunggulan AS terletak pada kepemilikan hyperscaler (penyedia layanan cloud skala besar) terbesar di dunia, seperti Amazon Web Services (AWS) dan Google Cloud. Keunggulan ini diperkuat oleh ekosistem finansial, edukasi, dan kewirausahaan yang mendukung inovasi. Untuk menjaga dominasinya, AS menggunakan kontrol ekspor, terutama pada semikonduktor canggih yang krusial untuk pengembangan AI. Kebijakan seperti “AI Diffusion Rule” dan pembatasan ekspor bertujuan untuk memperlambat kemajuan AI Tiongkok dan memaksa negara-negara lain untuk memilih ekosistem teknologi yang dipimpin AS.
- Tiongkok: Tiongkok menantang dominasi AS dengan memanfaatkan keunggulan dalam produksi mineral penting dan langka yang dibutuhkan untuk teknologi AI. Perusahaan teknologi besar Tiongkok, seperti Huawei, mendapatkan akses data yang luas berkat kolaborasi erat dengan pemerintah. Tiongkok juga memandang data center sebagai aset strategis untuk memastikan data penting tetap berada di dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada infrastruktur asing, dan meningkatkan ketahanan digital.
- Uni Eropa (UE): Strategi UE berpusat pada regulasi dan kedaulatan digital. UE tidak memiliki dominasi industri teknologi seperti AS atau Tiongkok, sehingga kekuatannya terletak pada kemampuan legislatifnya.
General Data Protection Regulation (GDPR) yang diberlakukan UE telah menjadi standar global yang memengaruhi aliran data lintas batas. UE berupaya mengurangi ketergantungan pada vendor-vendor AS dan Tiongkok dengan mendorong pembangunan kapasitas teknologi dan kendali lokal atas data.
Persaingan ini menciptakan fenomena fragmentasi digital di mana dunia terpecah menjadi blok-blok teknologi yang tidak kompatibel. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, dihadapkan pada dilema untuk menavigasi dua ekosistem teknologi yang saling bersaing, yang berdampak pada perdagangan, investasi, dan keamanan.
3.2. Peran Aktor Non-Negara
Geopolitik Data bukanlah permainan yang hanya dimainkan oleh negara. Aktor non-negara juga memainkan peran kunci:
- Perusahaan Teknologi: Perusahaan seperti Google, Amazon, dan Meta adalah pemain dominan yang memiliki dan mengoperasikan infrastruktur data global (hyperscaler). Kekuatan mereka memungkinkan mereka untuk bertindak secara independen dari negara, bahkan untuk mencapai tujuan geopolitik mereka sendiri, seperti yang terlihat saat mereka membatasi layanan di Rusia menyusul konflik di Ukraina.
- Organisasi Supranasional: Organisasi seperti Uni Eropa (UE) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memainkan peran penting dalam menetapkan norma dan aturan global. GDPR UE telah menetapkan standar perlindungan data yang ketat , sementara OECD mempromosikan prinsip-prinsip AI yang menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai demokratis. Organisasi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga berupaya menengahi peraturan aliran data lintas batas melalui negosiasi e-commerce, meskipun dengan tantangan. Peran aktor-aktor ini menunjukkan bahwa tata kelola data global membutuhkan pendekatan multi stakeholder yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan organisasi internasional.
3.3. Studi Kasus Utama: Kasus Huawei
Kasus Huawei adalah contoh paling jelas dari persaingan geopolitik yang intens atas infrastruktur data. Pada Desember 2018, kepala keuangan Huawei, Meng Wanzhou, ditangkap di Kanada atas permintaan AS. Departemen Kehakiman AS mendakwanya dengan tuduhan pencurian rahasia dagang dan pelanggaran sanksi terhadap Iran. Meskipun tuduhan ini bersifat kriminal, analisis geopolitik menunjukkan bahwa kasus ini lebih dari sekadar sengketa perdagangan bilateral. Sejak awal 1980-an, AS telah menggunakan berbagai perangkat diplomatik, termasuk perdagangan, untuk mempertahankan dominasinya atas sistem komunikasi global—sebuah praktik yang oleh para ahli disebut sebagai “imperialisme media”.
Kasus Huawei berpusat pada perebutan kontrol atas teknologi 5G, yang dianggap sebagai tulang punggung infrastruktur internet masa depan. AS menggunakan sanksi perdagangan untuk menekan sekutunya, seperti Inggris, agar tidak menggunakan peralatan 5G Huawei, dengan dalih risiko keamanan nasional. Kasus ini menunjukkan bahwa persaingan tidak hanya tentang siapa yang memproduksi teknologi terbaik, tetapi juga siapa yang mengendalikan infrastruktur di baliknya. Teknologi canggih seperti 5G dapat menjadi titik kendali baru dalam geopolitik yang memberikan pengaruh strategis dan memungkinkan pengawasan atau spionase siber. Hal ini menggarisbawahi bahwa kepercayaan dan keamanan telah menjadi mata uang baru dalam Geopolitik Data, di mana sebuah perusahaan tidak lagi dinilai hanya berdasarkan kualitas produknya, tetapi juga berdasarkan kebangsaannya dan dugaan hubungannya dengan negara asal.
Bagian IV: Studi Kasus: Indonesia dalam Pusaran Geopolitik Data
4.1. Kerangka Kedaulatan dan Keamanan Digital Indonesia
Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, menyadari pentingnya mengelola hubungan antara geopolitik, perdagangan, dan digitalisasi. Untuk membangun kedaulatan data, Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan:
- Regulasi: Disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) adalah tonggak utama. Penelitian menunjukkan bahwa UU PDP ini dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, yang berupaya menyeimbangkan perlindungan data warga negara dengan kewajiban internasional. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi data Indonesia bukan sekadar salinan dari model Barat seperti GDPR, tetapi memiliki fondasi ideologis nasional. Pemerintah juga berupaya menyusun regulasi turunan untuk mengendalikan penyimpanan data strategis di dalam negeri.
- Kelembagaan: Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada tahun 2017 menunjukkan pengakuan pemerintah bahwa keamanan siber telah menjadi isu politik tingkat tinggi. BSSN mengimplementasikan strategi berdasarkan lima pilar (aspek hukum, teknis, organisasi, pengembangan kapasitas, dan kerja sama) untuk meningkatkan keamanan siber nasional.
4.2. Tantangan dan Posisi Strategis Indonesia
Meskipun telah ada kemajuan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kedaulatan siber. Berdasarkan artikel, Indonesia memiliki Indeks Keamanan Siber Nasional (NCSI) yang mengkhawatirkan (peringkat 83) dan menghadapi jutaan serangan siber setiap hari. Tantangan ini diperparah oleh kurangnya kesadaran masyarakat, penggunaan perangkat lunak bajakan, dan dominasi platform global yang tidak selalu patuh pada hukum domestik.
Dalam persaingan geopolitik global, Indonesia menganut kebijakan luar negeri bebas aktif dan pragmatic equidistance. Posisi ini menempatkan Indonesia di tengah zona geopolitik yang menguntungkan sekaligus sulit. Di satu sisi, Indonesia menjadi target persaingan pengaruh, tetapi di sisi lain, posisinya sebagai kekuatan regional yang tidak berpihak memberinya peran potensial sebagai
penyeimbang dan mediator dalam tata kelola siber. Sebagai contoh, dalam konflik Laut Cina Selatan, Indonesia menggunakan data dan analisis media sosial untuk memperkuat posisinya yang menolak klaim historis Tiongkok. Keberhasilan Indonesia dalam menavigasi Geopolitik Data akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia siber domestik.
Tabel berikut merangkum kerangka strategi dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia:
| Kriteria | Lembaga/Regulasi | Strategi | Tantangan Utama |
|---|---|---|---|
| Kedaulatan Digital | UU PDP No. 27 Tahun 2022 | Mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam perlindungan data. | Dominasi platform global, ketidaksiapan infrastruktur. |
| Keamanan Siber | Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) | Strategi 5 pilar (hukum, teknis, organisasi, kapasitas, kerja sama). | Indeks keamanan siber nasional yang rendah (peringkat 83). |
| Posisi Geopolitik | Kebijakan “Bebas Aktif” dan “Pragmatic Equidistance” | Bertindak sebagai penyeimbang dan mediator dalam persaingan global. | Menavigasi fragmentasi digital global dan rivalitas AS–Tiongkok. |
Bagian V: Masa Depan Geopolitik Data: Tren, Prediksi, dan Skenario
5.1. Perlombaan AI sebagai Pendorong Utama Geopolitik Data
Masa depan Geopolitik Data akan didorong secara signifikan oleh perlombaan untuk dominasi kecerdasan buatan (AI). Sistem AI yang paling canggih membutuhkan akses tanpa batas ke data dalam jumlah besar dan beragam untuk melatih model mereka. Kebutuhan ini menciptakan persaingan sengit tidak hanya untuk data itu sendiri, tetapi juga untuk infrastruktur kunci seperti hyperscaler dan pasokan chip semikonduktor. Fenomena yang disebut geopatriation muncul sebagai tren di mana negara-negara berinvestasi besar untuk membangun kapasitas data center domestik demi memastikan data strategis mereka berada di dalam negeri dan tidak bergantung pada entitas asing.
Perlombaan AI ini menciptakan paradoks mendasar dalam era digital. Inovasi AI yang optimal membutuhkan aliran data yang terbuka dan tanpa hambatan, sementara kebutuhan akan keamanan dan kedaulatan nasional mendorong pembatasan dan lokalisasi data. Ini adalah kontradiksi yang mendasari dinamika geopolitik data di masa depan: inovasi membutuhkan keterbukaan, tetapi keamanan menuntut penutupan (closure). Kebijakan yang dibuat hari ini, seperti pembatasan ekspor chip atau regulasi aliran data, akan menentukan apakah dunia akan bergerak menuju kerja sama atau fragmentasi.
5.2. Skenario Masa Depan
Berdasarkan dinamika yang ada, dua skenario utama untuk tatanan dunia berbasis data di masa depan dapat diidentifikasi:
- Skenario Fragmentasi: Dalam skenario ini, persaingan antara AS dan Tiongkok memuncak, memecah dunia menjadi blok-blok teknologi yang tidak kompatibel. Ini akan menciptakan “tirai besi digital” baru, di mana standar teknologi, aliran data, dan ekosistem AI terfragmentasi. Dalam kondisi ini, kerja sama global dalam menghadapi ancaman siber, krisis iklim, atau pandemi akan terhambat, karena data yang krusial tidak dapat dibagikan dengan bebas.
- Skenario Kerja Sama Multi-stakeholder: Skenario alternatif adalah di mana negara, perusahaan, dan organisasi internasional menyadari bahwa tantangan global memerlukan kolaborasi yang lebih besar. Mereka bekerja sama untuk menciptakan norma, standar, dan regulasi universal yang memungkinkan aliran data yang aman dan etis. Meskipun kepentingan nasional tetap menjadi prioritas, skenario ini memungkinkan adanya keseimbangan antara perlindungan data dan kebutuhan untuk memanfaatkan potensi AI dan teknologi digital demi kemakmuran global.
Masa depan Geopolitik Data akan ditentukan oleh keseimbangan yang rapuh antara kepentingan keamanan nasional dan kebutuhan akan kemakmuran global. Kebijakan yang diadopsi oleh para pemimpin hari ini akan memiliki implikasi jangka panjang pada tatanan dunia yang baru.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Geopolitik Data merepresentasikan pergeseran mendalam dalam dinamika kekuasaan global. Analogi “data adalah minyak baru,” meskipun persuasif, adalah penyederhanaan yang berbahaya karena data memiliki sifat fundamental yang berbeda, yaitu non-rival dan tak terbatas. Oleh karena itu, persaingan atas data tidak berpusat pada perebutan cadangan fisik, melainkan pada kontrol atas aliran, infrastruktur, dan regulasi. Pergeseran ini telah menciptakan arena baru di mana aktor-aktor utama—negara (AS, Tiongkok, UE), raksasa teknologi, dan organisasi supranasional—bersaing untuk pengaruh. Perlombaan AI mengintensifkan persaingan ini, menciptakan dilema antara inovasi yang membutuhkan keterbukaan dan kedaulatan yang menuntut pembatasan.
Indonesia, dengan kebijakan luar negeri bebas aktifnya, berada pada posisi unik yang menguntungkan sekaligus sulit. Meskipun menghadapi tantangan besar dalam keamanan siber dan infrastruktur, Indonesia telah menunjukkan langkah-langkah proaktif melalui pembentukan BSSN dan UU PDP yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemain utama, bertindak sebagai penyeimbang dan mediator, alih-alih menjadi korban dalam persaingan kekuatan besar.
Untuk menghadapi tantangan di masa depan, penelitian lebih lanjut disarankan untuk melakukan studi komparatif tentang strategi data di negara-negara berkembang. Dari sisi kebijakan, rekomendasi yang dapat dipertimbangkan meliputi:
-
Mendorong Dialog Multi-stakeholder: Pemerintah perlu memfasilitasi dialog yang melibatkan perusahaan swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengembangkan kerangka tata kelola data yang seimbang dan responsif.
-
Berinvestasi dalam Infrastruktur Siber Domestik: Peningkatan investasi pada infrastruktur cloud dan data center domestik adalah langkah krusial untuk memperkuat kedaulatan data dan mengurangi ketergantungan pada entitas asing.
-
Mengembangkan Kerangka Hukum yang Seimbang: Regulasi turunan dari UU PDP harus disusun secara cermat untuk memastikan perlindungan data pribadi dan kepentingan publik tanpa menghambat inovasi dan kolaborasi internasional yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi digital.
Daftar Referensi
Berikut adalah daftar referensi yang digunakan untuk penelitian tentang Geopolitik Data, disusun berdasarkan kategori utama dari topik ini. Daftar ini mencakup referensi lama yang menjadi tonggak sejarah dan referensi terbaru yang mencerminkan perkembangan terkini.
1. Konsep Dasar & Metafora “Data adalah Minyak Baru”
Referensi-referensi ini menjelaskan asal-usul metafora dan argumen fundamental di baliknya.
-
Lama:
- Artikel Jurnal: The Economist. “The world’s most valuable resource is no longer oil, but data.” The Economist, 6 Mei 2017. Artikel ini secara luas dianggap sebagai sumber yang mempopulerkan frasa “data is the new oil” di era modern dan menjelaskan mengapa data menjadi aset ekonomi paling berharga.
-
Terbaru:
-
Laporan/Opini: McKinsey & Company. “Data as a strategic asset: The need for a new geometry of global trade.” Laporan ini menganalisis bagaimana aliran data telah menjadi pendorong utama ekonomi global, bahkan melebihi perdagangan barang dan jasa tradisional.
-
Buku: Mayer-Schönberger, Viktor dan Cukier, Kenneth. Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think. Houghton Mifflin Harcourt, 2013. Meskipun lebih tua, buku ini memberikan fondasi teoretis yang kuat tentang bagaimana big data mengubah masyarakat dan ekonomi.
-
2. Studi Kasus & Persaingan Geopolitik
Bagian ini menyoroti konflik dan kebijakan nyata di mana data menjadi pusat persaingan kekuatan global.
-
Lama:
- Artikel Berita/Analisis: “The US vs. Huawei: What’s at stake in the 5G race.” Artikel-artikel dari tahun 2018-2020 yang membahas larangan AS terhadap Huawei, menyoroti persaingan untuk menguasai infrastruktur data dan teknologi 5G sebagai medan pertempuran geopolitik.
-
Terbaru:
- Laporan Keamanan: Center for Strategic and International Studies (CSIS). “Understanding the U.S.-China Technology Competition: A Strategic Framework.” Laporan ini menganalisis persaingan teknologi antara AS dan Cina, termasuk kontrol data, sebagai elemen kunci dalam persaingan geopolitik.
- Artikel Jurnal: Geopolitical Monitor. “Fragmenting the Internet: The Geopolitics of Data Sovereignty.” Artikel ini menjelaskan tren terbaru di mana negara-negara menerapkan kebijakan kedaulatan data untuk membatasi aliran data lintas batas, menciptakan “internet yang terfragmentasi”.
3. Regulasi & Kedaulatan Data
Referensi ini membahas kerangka hukum yang mengatur data, dengan fokus pada upaya negara-negara untuk menegakkan kedaulatan digital mereka.
-
Lama:
- Laporan Hukum: European Commission. General Data Protection Regulation (GDPR). Uni Eropa, 2016. GDPR adalah referensi kunci yang menjadi model bagi banyak regulasi perlindungan data di seluruh dunia dan merupakan contoh awal penegasan kedaulatan data oleh blok regional.
-
Terbaru:
- Dokumen Hukum: Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini adalah contoh terbaru dari upaya Indonesia untuk melindungi data warganya dan menegaskan kedaulatan digitalnya.
- Laporan Institusi: Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia. Laporan atau publikasi terbaru BSSN tentang strategi keamanan siber nasional dan upaya untuk melindungi infrastruktur data vital negara.
4. Perkembangan & Tren Masa Depan
Bagian ini berfokus pada bagaimana kemajuan teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), membentuk lanskap geopolitik data di masa depan.
- Terbaru:
- Laporan Institusi: World Economic Forum (WEF). “The Geopolitics of AI.” Laporan ini membahas bagaimana kompetisi AI mendorong pergeseran kekuasaan global dan menjadikan data sebagai aset strategis utama.
- Jurnal/Artikel: Artikel dari media seperti TIME atau Foreign Affairs yang membahas “lomba senjata” AI antara AS dan Cina, menjelaskan bagaimana kendali atas data besar menjadi penentu utama dalam persaingan teknologi dan militer.
- Analisis Opini: Lee, Kai-Fu. AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order. Houghton Mifflin Harcourt, 2018. Buku ini meskipun diterbitkan beberapa tahun lalu, tetap relevan karena prediksi tentang bagaimana Cina dan AS akan mendominasi dunia AI, yang sangat bergantung pada akses ke data.